PERLUNYA MELAKUKAN PENGEMBARAAN ALAM BEBAS MENURUT AL QUR'AN
Alam raya dan segala isinya, begitu juga dengan teks-teks redaksi
Al-Quran, dinamai oleh Allah sebagai “ayat-ayat Allah”. Untuk
membedakan, ulama memberi nama yang berbeda : pertama, ayat kauniyah;
kedua ayat kauliyah atau qur’aniyyah. Secara harfiah, ayat berarti
“tanda” dalam arti rambu-rambu perjalanan menuju Allah, atau
bukti-bukti kekuasaan Allah. “Tanda” tersebut tidak dapat difungsikan
dengan baik kecuali apabila didengar dan dipandang, baik dengan mata
hati maupun oleh mata kepala.
Oleh karena itu, dalam Al-Quran
ditemukan sekian banyak perintah Allah yang berkaitan dengan fungsi
tanda-tanda tersebut. Khusus yang menyangkut pandang-memandang, tidak
kurang dari tujuh ayat yang mengaitkan langsung perintah memandang itu
dengan melakukan perjalanan.
Bahkan, al-saihun (wisatawan)
yang melakukan perjalanan dalam rangka mendapat pelajaran dan
pengajaran, dipuji Al-Quran berbarengan dengan pujiannya kepada
orang-orang yang bertobat, mengabdi memuji Allah, rukuk dan sujud,
memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran serta memelihara
ketetapan-ketetapan Allah (lihat : Q.S At-Taubah [9] : 112).
Kata al-saihun terambil dari kata siyahah yang secara popular diartikan
sebagai wisata/perjalanan/ pengembaraan alam bebas. Kata ini mengandung
arti penyebaran. Oleh karena itu, dari kata tersebut dibentuk kata
sahat yang berarti lapangan yang luas. Muhammad Jamaluddin Al-Qasimiy
(1866-1914) menguraikan dalam tafsirnya bahwa arti siyahah adalah
perjalanan wisata. Menurutnya, cukup banyak bukti dan indikator dari
ayat Al-Quran yang mendukung arti tersebut. Pakar Al-Quran tersebut
menjelaskan sebagai berikut :
“Saya telah menemukan sekian
banyak pakar yang berpendapat bahwa Kitab Suci memerintahkan manusia
agar mengorbankan sebagian dari masa hidupnya untuk melakukan
perjalanan wisata agar ia dapat menemukan peninggalan-peninggalan lama,
mengetahui kabar berita umat-umat terdahulu, agar kesemua itu dapat
menjadi pelajaran yang dapat mengetuk otak-otak yang beku.”
Sedangkan Fakhruddin Al-Raziy (1149-1209), seorang mufasir, menulis :
“Perjalanan wisata memiliki dampak yang sangat besar dalam rangka
menyempurnakan jiwa manusia. Dengan melakukan perjalanan, ia mungkin
mendapat kesulitan dan dalam kondisi itu ia dapat mendidik jiwanya
untuk bersabar. Mungkin juga ia menemui orang- orang terkemuka,
sehingga ia dapat mendapatkan sesuatu dari mereka hal-hal yang tidak
dimilikinya. Selain itu, ia juga dapat menyaksikan aneka ragam
perbedaan ciptaan Allah. Maka, perjalanan wisata memiliki dampak yang
kuat dalam kehidupan beragama seseorang.”
Tujuan Wisata/Pengembaraan Alam Bebas yang Dibenarkan Agama
Perjalanan yang tidak mengakibatkan dosa dibenarkan oleh agama.
Bahkan, mereka yang melakukan perjalanan mendapat keringanan-keringanan
dalam kewajiban agama, seperti kebolehan menunda puasa dan menggabung
atau meringkas rakaat shalat. Namun, sifat terpuji dari suatu
perjalanan adalah yang seperti tercantum dalam Al-Quran mengenai
perintah melakukan perjalanan (lihat : Q.S Al-Hajj [22] : 46) :
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka memiliki
hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau memiliki telinga yang
dengan itu mereka dapat mendengar? Karena Sesungguhnya bukanlah mata
itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.”
Selain itu, Al-Quran juga mengharapkan dari perjalanan
wisata/pengembaraan alam bebas agar manusia mendapat manfaat dari
sejarah pribadi atau tempat-tempat (lihat : Q.S Al-Mu’min [40] : 21)
serta mengenal alam ini dengan segala keindahan dan seninya yang
menunjukkan kekuasaan Allah (lihat : Q.S Al-Ankabut [29] : 20). Tidak
kurang pentingnya dalam rangka perjalanan itu adalah (semakin)
terbukanya peluang untuk mendapat rezeki dari Allah.
Untuk
lebih mengoptimalkan esensi perjalanan wisata/pengembaraan alam bebas,
di setiap objek wisata mutlak diperlukan para pemandu yang bertugas
bukan sekedar menjelaskan seluk-beluk sejarah, keadaan, atau
sifat-sifat objek wisata yang dikunjungi, tetapi juga harus menggugah
hati para wisatawan. Dengan begitu, mereka—wisatawan—tentu akan dapat
menarik pelajaran dari suatu perjalanan dan pada gilirannya nanti akan
mengantarkan kepada kesadaran akan arti serta filosofi hidup ini.
Dengan melakukan perjalanan, kita bisa melihat bukti-bukti kekuasaan
Allah dalam penciptaan langit dan bumi serta kehidupan makhluk-Nya.
Dengan penuh kekaguman, kita akan merasakan kenikmatan saat melihat
penciptaan Yang Maha Pencipta itu. Saat itu pula, kita akan mendapatkan
kenikmatan dan kesejukan yang akan menambah keimanan, kepasrahan, dan
ketundukan kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam.
©[FHI/Materi DIKSAR]
Ref :
Shihab, M. Quraish. 1992. Membumikan Al-Quran : Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung : Penerbit Mizan.
0 komentar:
Posting Komentar